id sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Penerapan “Strict Liability” dalam Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia

Universitas Indonesia > Berita > Penerapan “Strict Liability” dalam Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia

Senin (12/3/2018) Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) menyelenggarakan peluncuran buku berjudul “Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Pertanggungjawaban Perdata” karangan Dr. Andri  G. Wibisana, S.H, L.L.M., (Dosen Hukum Lingkungan FHUI).

Dalam peluncuran ini, hadir Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, Dr. Ir. Siti Nurbaya Bakar M.Sc dan Dekan FHUI, Prof. Melda Kamil Ariadno, SH, LL.M., Ph.D memberikan sambutan.

Dr. Andri dalam bukunya menjelaskan secara dengan detail perihal perbedaan antara Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dengan Pertanggungjawaban Mutlak (strict liability) dalam konteks penegakan hukum lingkungan hidup.

Strict liability merupakan konsep pertanggungjawaban perdata yang tidak mensyaratkan adanya kesalahan pada diri tergugat tetapi telah menimbulkan kerugian pada diri penggugat.

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, kondisi ini diperuntukkan bagi tiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup.

Menurut Dr. Andri, konsep ini sebenarnya sangat simpel. Untuk menggugat dengan konsep ini, penggugat tak perlu membuktikan apakah perusahaan melanggar hukum sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan atau tidak.

“Kita cukup melihat apakah telah terjadi kerusakan lingkungan akibat operasional perusahaan tersebut. Mengenai praktik perusahaan tersebut apakah melanggar hukum atau tidak, itu tidak ada hubungannya,” ujar Dr. Andri menjelaskan.

Konsep ini banyak tidak dipahami oleh akademisi dan praktisi hukum lingkungan di Indonesia, sehinga gugatan strict liability kerap bercampur dengan gugatan PMH. Berbeda dengan strict liability, dalam gugatan PMH, penggugat harus terlebih dahulu membuktikan adanya tindakan melanggar hukum oleh perusahaan dalam menjalankan usahanya. Setelah itu baru ke akibat terjadi kerusakan lingkungan.

Andri mengatakan dalam berbagai gugatan kasus lingkungan, penggugat menyatakan jenis gugatannya adalah strict liability, namun dalam petitum, penggugat justru meminta agar pengadilan menyatakan tergugat terbukti melakukan tindakan yang melanggar hukum.“Ini contoh logika yang mencampuradukkan strict liability dengan PMH,” jelasnya Dr. Andri.

Contoh kesalahan logika ini terjadi dalam kasus gugatan terhadap PT Lapindo Brantas. Menurutnya, pengacara penggugat dan hakim sama-sama mengggunakan logika yang campur aduk ini, sehingga pada akhirnya, penegak hukum terjebak dengan hal-hal yang bersifat teknis perusahaan yang sulit pembuktiannya.

Andri mengusulkan agar gugatan-gugatan kasus lingkungan yang menggunakan strict liability benar-benar dipisah dengan perbuatan melawan hukum. “Bisa tetap dalam satu gugatan. Tapi, dalam gugatan primer berbicara strict liability, sedangkan yang subsidair menggunakan PMH. Praktik ini sering diterapkan di Amerika Serikat.”

Penulis: Wanda Ayu A.

Related Posts

Leave a Reply