id sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Seni Mengatur Transportasi Online

Universitas Indonesia > Berita > Seni Mengatur Transportasi Online

Pengaturan transportasi online dalam koridor hukum Indonesia, memang menjadi permasalahan tersendiri.

Jenis transportasi ini yang tidak memiliki pekerja maupun fisik kendaraan sangat berbeda dengan jenis transportasi yang selama ini sudah ada di Indonesia.

Menanggapi hal ini, pemerintah merevisi Permenhub Nomor 32 Tahun 2016. Revisi tersebut mencakup 11 tambahan regulasi yang diusulkan untuk meregulasi transportasi online.

Diluar dari perbaikan yang sudah dilakukan pemerintah, ada beberapa yang sebenarnya bisa diperbaiki untuk menambah efektifitas regulasi ini bagi penyelenggaraan transportasi online.

Poin pertama adalah mengenai tanda nomor kendaraan bermotor khusus, STNK harus berbadan hukum, dan pengujian KIR berkala.

Saya melihat aturan ini tidak diperlukan karena akan menghalangi masyarakat kelas menengah bawah yang ingin menjadi mitra transportasi online.

Perlu diingat bahwa pengemudi transportasi online sering kali hanya menyewa kendaraan untuk dioperasikan. Akses mereka ke sewa kendaraan yang murah akan hilang jika aturan ini diberlakukan.

Poin kedua tentang kapasitas silinder mesin kendaraan harus 1.000-1.300 cc cukup menarik. Perusahaan transportasi online  membagi layanannya menjadi dua, mobil kecil dan mobil premium (misal UberX dan Uber Black).

Dengan aturan ini, pemerintah akan mematikan layanan mobil premium dengan cc besar, yang saat ini menyumbangkan sekitar 15% pendapatan transportasi online.

Pertanyaannya, apakah memang pemerintah ingin mendorong transportasi online masuk ke segmen pengguna menengah ke bawah? Kenapa tidak justru didorong agar transportasi online memperbesar layanannya di segmen menengah atas?

Poin ketiga tentang penetapan batas tarif atas maupun bawah serta pajak. Dalam hal ini pemerintah perlu melihat apakah tarif yang ditentukan bisa menjaga koridor pergerakan harga yang dilakukan oleh transportasi online melalui fitur dynamic pricing sehingga tetap mampu melindungi konsumen dari ketidakpastian harga.

Demikian juga sudah selayaknya aturan pajak masuk dan diikuti oleh transportasi online  untuk menjamin keadilan sosial.

Poin keempat mengenai jumlah kuota transportasi online, menurut saya, punya urgensi untuk segera diterapkan. Ini mengingat pertumbuhan mitra pengemudi transportasi online, baik roda empat maupun roda dua, sedemikian cepat.

Sementara pada saat yang sama, kita punya tanggung jawab kepada perusahaan dan pengemudi transportasi konvensional untuk memiliki waktu beradaptasi. Ini juga untuk mencegah konflik antarpengemudi pada masa depan.

Poin kelima mengenai perlunya pool dan bengkel, yang menurut saya kurang relevan untuk diterapkan. Mitra pengemudi transportasi online tidak menggunakan kendaraan mereka hanya untuk mencari nafkah. Namun juga menggunakan kendaraan pribadi tersebut untuk kegiatan sehari-hari.

Adanya pool atau bengkel bersama tidak memberikan value bagi stakeholder mana pun pada konteks ini.

Poin keenam, sekaligus yang paling penting, adalah dibukanya akses ke dashboard aplikasi. Inilah sebenarnya hal yang paling penting untuk dilakukan pemerintah.

Dengan memiliki konektivitas ini, pemerintah dapat memantau compliance  dari perusahaan transportasi online  terhadap aturan yang dibuat.

Tidak hanya itu, pemerintah perlu memberi tambahan manfaat dengan mengajak penyedia transportasi untuk juga berbagi  data. Sehingga nantinya aplikasi tersebut akan menjadi sumber informasi yang akurat dan terpercaya.

Pemerintah perlu menjaga keseimbangan antara meregulasi inovasi dan mendorong inovasi. Jika aturan terlalu ketat, maka inovasi bisa mandek.

Namun, juga tidak diatur sama sekali, akan tercipta ketidakadilan bagi mereka yang lemah. Poin-poin yang membatasi inovasi dan kurang ada manfaatnya bagi pengemudi dan pengguna, silakan dibuang.

Sumber:

feb.ui.ac.id

Penulis:

Harryadin Mahardika
Kepala Program Magister Manajemen FEB Universitas Indonesia

Related Posts

Leave a Reply