iden sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

The 29th International Seminar on Sea Names: Bahas Strategi Penamaan Geografis Untuk Perdamaian

Universitas Indonesia > Berita > Berita Fakultas Matematika dan IPA > The 29th International Seminar on Sea Names: Bahas Strategi Penamaan Geografis Untuk Perdamaian

Depok, 24 Oktober 2023. Universitas Indonesia (UI) melalui Departemen Geografi Fakultas Matematika dan Pengetahuan Alam (FMIPA) bersama dengan The Society for East Sea, Northern Asian History Foundation, dan Komunitas Toponimi Indonesia menyelenggarakan seminar internasional bertajuk The 29th International Seminar on Sea Names pada 18—21 Oktober 2023. Seminar bertema “Sustainable Geographical Naming at The Border Region For Peace and Tolerance: Asian Perspectives” ini dilaksanakan secara luring di Auditorium Gedung I dan Gedung IV Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI, Kampus Depok, Jawa Barat.

The 29th International Seminar on Sea Names membahas isu-isu internasional terkait penamaan geografis khususnya di wilayah perbatasan, nilai-nilai perdamaian, warisan budaya, dan kajian toponimik lainnya. Untuk mewadahi kajian interdisiplener tersebut, para ahli dari Departemen Linguistik Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI serta FMIPA UI bertindak sebagai local organizing committee. Peserta seminar yang hadir berjumlah sekitar 70 orang, terdiri dari para ahli dan akademisi di bidang geografi dan linguistik dari berbagai negara, termasuk Indonesia, Korea Selatan, Vietnam, Filipina, dan Amerika Serikat.

Seminar tersebut dibagi dalam lima sesi, diawali dengan mendiskusikan konflik penamaan wilayah perairan yang terletak antara Semenanjung Korea dan Jepang. Korea menamai perairan tersebut sebagai “East Sea” sementara Jepang menamai perairan yang sama “Sea of Japan”, yang lebih diakui secara internasional. Pemerintah Korea telah berusaha mengajukan pemberlakuan sistem dual naming atau nama ganda sejak 1992. Namun, harapan pemerintah Korea baru dikabulkan pada 2020 oleh International Hydrographic Organization lewat kebijakan S-130 yang memutuskan untuk menggunakan pengenal numerik pada seluruh wilayah maritim dunia.

Guru Besar Ilmu Linguistik FIB UI sekaligus Co-Chair kegiatan ini, Prof. Dr. Multamia RMT Lauder mengatakan, “Ini merupakan masalah internasional. Toponimi adalah studi mengenai nama tempat. Nama tempat menjadi sangat penting karena nama tempat juga menjadi batas teritorial, baik itu antarnegara, provinsi, atau kabupaten. Penamaan suatu wilayah oleh suatu negara harus dihormati untuk saling menghargai wilayah teritorial masing-masing.”

Pertama kali digelar di Indonesia, The 29th International Seminar on Sea Names memanfaatkan momentum ini untuk membandingkan masalah serupa yang juga terjadi di kawasan Asia Tenggara, yakni mengenai konflik penamaan Laut China Selatan. Penamaan perairan ini memang berbeda-beda di setiap negara yang berbatasan. Sejak 2016, Indonesia menyebutnya sebagai Laut Natuna Utara, sementara Vietnam menyebutnya Bien Dong atau East Sea, dan Filipina menyebutnya West Philippines Sea. Penamaan tersebut merupakan alat tiap negara untuk mengamankan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) masing-masing di wilayah perairan tersebut.

Dekan FMIPA UI, Prof. Dede Djuhana, Ph.D mengatakan kehadiran para peserta seminar ini memperkaya wacana dan memperkuat tekad kolektif FMIPA UI untuk mengatasi isu-isu kritis dalam penamaan geografis, dengan fokus pada perdamaian, toleransi, dan pemahaman di wilayah perbatasan. Senada hal tersebut, Dr. Taqyuddin, S.S., M.Hum, pengajar Departemen Geografi FMIPA UI dan Local Chair kegiatan ini mengatakan, “Tujuan acara toponimi ini adalah untuk mencapai perdamaian dan toleransi. Artinya, penamaan tempat-tempat itu jangan diperdebatkan dan diributkan, tetapi masing-masing negara boleh memberi nama di wilayahnya masing-masing sehingga hubungan di perbatasan itu damai.”

Sementara President of The Society of East Sea asal Korea Selatan, Choo Sungjae, memuji kemampuan Indonesia dalam menyelesaikan masalah pengelolaan penamaan geografis di tingkat domestik. “Indonesia, sebuah negara yang terdiri dari lebih dari 17.000 pulau, telah dengan cepat mengembangkan kemampuan teknologis untuk menetapkan dan mengelola nama-nama untuk fitur daratan dan maritim serta mengembangkan basis data nama geografis yang besar,” kata Sungjae. Ia mengemukakan salah satu bentuk teknologi tersebut yaitu Sistem Informasi Nama Rupabumi (SINAR) yang dirancang Badan Informasi Geospasial untuk penyebarluasan Nama Rupabumi dan dapat diakses sinar.big.go.id.

Sesi-sesi yang dihadirkan dalam seminar ini berjudul Geographical Naming Issues in Asia: A Comparative Perspective; Resolving Naming Disputes; Cultural Values of Geographical Naming; New Dimensions of Sustainable Geographical Naming; dan Looking Ahead: What Should be Done Further?

Seminar ini turut dihadiri oleh Dekan FMIPA UI, Prof. Dede Djuhana, Ph.D; Dekan FIB UI, Dr. Bondan Kanumoyoso, M.Hum; President of The Northeast Asian History Foundation, Lee Young-ho; perwakilan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta pihak dari Pusat Hidro-Oseanografi Angkatan Laut (PUSHIDROSAL) yaitu Laksamana TNI Dyan, Kolonel Muddan Zayadi, dan Kolonel Agus Sutrianto. Penyelenggaraan seminar ini didukung oleh Badan Informasi Geospasial, Korea Hydrographic dan Oceanographic Agency, dan Korean Culture and Information Service.

Related Posts