iden sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Upaya Menghilangkan Stigmatisasi dan Diskriminasi Pasien TB Lewat CAPITA FKUI

Universitas Indonesia > Berita > Berita Fakultas Kedokteran > Upaya Menghilangkan Stigmatisasi dan Diskriminasi Pasien TB Lewat CAPITA FKUI

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi paling mematikan di dunia. Secara global, estimasi kasus TB lebih dari sembilan juta kasus dengan penurunan angka kesakitan dan kematian, masih lebih rendah dari target yang ditetapkan. Di tengah tantangan mencapai target eliminasi TB, upaya mencegah dan menangani TB dipersulit dengan adanya stigma terhadap TB di masyarakat.

Untuk mengkaji stigmatisasi TB dan upaya penanganannya, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) mengadakan seminar bertema “Menilai dan Mengatasi Dampak Psikososial Tuberkulosis di Indonesia”, pada Kamis (10/2). Pertemuan melalui virtual ini membahas program Characterising and Addressing the Psychosocial Impact of Tuberculosis in Indonesia (CAPITA), yang diselenggarakan FKUI pada Februari–November 2022.

Dekan FKUI, Prof. dr. Ari Fahrial Syam, Sp.PD-KGEH, MBA, menyampaikan dukungannya pada riset yang dilakukan peneliti TB. Menurutnya, penelitian ini sangat penting karena TB merupakan kasus yang terus mengalami peningkatan. Ia menekankan perlunya kolaborasi dalam riset berskala nasional dan internasional agar hasilnya dapat dipublikasikan dan menjadi policy brief bagi lembaga terkait dan pemerintah.

“UI telah melakukan kolaborasi dengan pihak luar, seperti Oxford, Leiden University, Maastricht University, dan Melbourne University, untuk membuka peluang kerja sama dengan institusi internasional lainnya. Ini dilakukan agar kualias pendidikan dan penelitian makin meningkat, sehingga bermanfaat bagi masyarakat di dalam dan luar negeri,” kata Prof. Ari.

Selain kolaborasi internasional, UI juga melakukan kolaborasi nasional dengan Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes RI). Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PML) Kemenkes RI, dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid., menyampaikan, ada tiga arahan Presiden terkait percepatan eliminasi TB, yakni pelacakan agresif untuk menemukan penderita TB, obat-obatan TB harus tersedia dan pengobatan dilakukan hingga tuntas, serta pencegahan harus dilakukan lintas sektor hingga dari sisi infrastruktur.

Selain itu, dilakukan upaya mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap pasien, melalui peran komunitas, mitra, dan multisektor. “Studi, kajian, dan riset TB dilakukan bersamaan dengan program penanggulangannya. Hasilnya diharapkan bermanfaat untuk penguatan implementasi, perencanaam dan evaluasi program, kata dr. Siti.

Penelitian TB juga dilakukan oleh Jejaring Riset Tuberkulosis Indonesia (Jetset TB Indonesia). Ketua Jetset TB Indonesia Prof. dr. Rovina Ruslami, Sp.PD, PhD., menyampaikan ada sepuluh prioritas penelitian TB di Indonesia. Prioritas tersebut meliputi optimalisasi penemuan dini kasus TB, optimalisasi upaya diagnosis dan pengobatan TB resisten obat, evaluasi dan intensifikasi investigasi kontak, penguatan upaya penemuan kasus dan pengobatan TB anak, serta pengembangan pengobatan pencegahan TB.

Kebijakan pemerintah pusat dan daerah juga dibutuhkan dalam pengendalian TB, selain optimalisasi laboratorium penunjang diagnosis TB, peningkatan kepatuhan pasien berobat, pengembangan alat diagnosis TB, dan upaya pemberdayaan masyarakat juga termasuk di dalamnya.

Menurut Ahmad Fuady, M.Sc., PhD. selaku Ketua Tim Peneliti CAPITA, hingga saat ini, belum ada peraturan yang mengeliminasi stigma terhadap pasien TB. Oleh karena itu, studi ini bertujuan memberikan bukti ilmiah untuk mendesain dan mengimplementasikan intervensi psikososial demi mereduksi stigma negatif TB.

Menurut Ahmad, studi CAPITA dilaksanakan di tujuh provinsi (Sumatera Barat, Jambi, Jakarta, Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan Maluku). Dua populasi utama pada penelitian ini meliputi populasi A (770 orang dewasa yang menjalani pengobatan TB) dan populasi B (640 pekerja dewasa).

“Selanjutnya, dilakukan desk review terhadap peraturan terkait stigma dan diskriminasi TB dan wawancara mendalam. Hasil studi dan rekomendasi kebijakan kemudian diberikan kepada Kemenkes dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagai masukan untuk pembuata kebijakan,” kata Ahmad.

Menurut Dr. dr. Retno Asti Werdhani, M.Epid. selaku Ketua Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI, stigma dapat disebabkan empat hal, yaitu ketidaktahuan akan penyakit dan perkembangannya, kondisi yang berkepanjangan (pandemi), kurangnya dukungan psikososial, dan respons otoritas yang belum adekuat atau kurang konsisten. Hal ini bisa ditangani melalui penyampaian informasi yang tepat kepada masyarakat dan individu.

Hal lain yang patut diperhatikan adalah memberikan harapan dan cerita positif guna meningkatkan peluang pasien untuk sembuh. “Mengingat ketidakpahaman adalah faktor yang menyulut terbentuknya stigma sosial, tenaga kesehatan harus mampu mengedukasi masyarakat agar mendapat informasi yang benar,” kata Dr. Retno.

Guru Besar Kedokteran Okupasi FKUI Prof. dr. Muchtaruddin Mansyur, MS, Sp.Ok, PhD., mengatakan pasien TB distigmatisasi karena dikaitkan dengan hasil pekerjaan yang terbatas. Stigmatisasi juga memunculkan beban ganda bagi petugas kesehatan karena mereka harus mengatasi peningkatan morbiditas dan mortalitas diri sendiri sekaligus bertanggung jawab mengatasi TB sebagai masalah kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya menghilangkan stigma dengan pendidikan kesehatan tentang TB, dilakukannya penelitian untuk tata laksana yang lebih baik, dukungan kebijakan dan layanan kesehatan di tempat kerja, serta praktik kedokteran okupasi yang sesuai.

 

Penulis: Sapuroh

Selengkapnya:

Related Posts