iden sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Dakwaan terhadap Trump dan Pelajaran untuk Pemilu Indonesia 2024

Universitas Indonesia > Berita > Dakwaan terhadap Trump dan Pelajaran untuk Pemilu Indonesia 2024

PADA saat mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump menghadiri sidang pada pengadilan di Washington D.C., pada tanggal 3 Agustus 2023 lalu, merupakan tonggak sejarah penting bagi perpolitikan Amerika Serikat. Dimana untuk pertama kalinya seorang mantan Presiden Amerika Serikat dituduh melakukan intervensi dalam proses pengesahan penghitungan pemilihan umum tahun 2020 di negeri adi kuasa tersebut pada tanggal 6 Januari 2021. Mantan Presiden ke-45 Amerika Serikat tersebut, dituntut oleh Jaksa Khusus Jack Smith dalam empat dakwaan: konspirasi untuk menipu masyarakat Amerika Serikat, konspirasi untuk menghalangi proses resmi pengesahan hasi pemilu, menghalangi proses resmi pengesahan suara, dan konspirasi melawan hak suara rakyat.

Peristiwa kerusuhan di Gedung Parlemen AS pada tanggal 6 Januari 2021 merupakan salah satu momen paling kontroversial dan mendalam dalam sejarah politik Amerika Serikat. Kerusuhan tersebut terjadi setelah Presiden Donald Trump memberikan pidato di dekat Gedung Putih, di mana dia kembali menyatakan, tanpa bukti konkrit, bahwa pemilu 2020 dicurangi dan dirinya adalah pemenangnya. Banyak pengamat dan pemimpin politik merasa bahwa pernyataan dan tindakan Trump sebelum, selama, dan setelah pemilu berkontribusi pada ketegangan yang meledak pada hari itu. Sejak pemilu pada November 2020, Trump dan beberapa pendukungnya dengan keras dan berulang kali menyatakan bahwa ada kecurangan pemilu besar-besaran, meskipun klaim tersebut telah dibantah oleh pengadilan, pejabat pemilihan, dan Departemen Kehakiman di Amerika Serikat.

Sebagai akibat dari peristiwa ini, Trump menjadi presiden AS pertama yang dimakzulkan dua kali oleh Kongres di Amerika Serikat. Salah satu tuduhannya adalah “penghasutan pemberontakan”. Meskipun dia kemudian dibebaskan oleh Senat yang mayoritas di kuasai partai Republik pada waktu itu, hal ini menunjukkan sejauh mana banyak anggota Kongres merasa dia bertanggung jawab atas kerusuhan, terutama dari partai Demokrat.

Namun peristiwa 6 Januari tersebut tidak membuat popularitas Donald Trump redup di perpolitikan AS. Justru sebaliknya meningkat setidaknya di pemilih partai Republik, secara terus menerus menyampaikan kepada para pendukung loyalnya, dengan di dukung oleh media massa berhaluan konservatif, seperti Fox News, bahwa dia adalah koban dari kecurangan pemilu 2019. Terbukti stamina Politik Donald Trump sangat kuat sehingga upayanya berhasil. Saat ini Trump menjadi kandidat terkuat Presiden di Partai Republik, di mana menurut survei terakhir New York Times/ Sienna College Poll Trump unggul jauh dari rival terdekatnya yakni Gubernur Florida Ronald DeSantis 54% vs 17%.

Selain kasus intervensi terhadap pemilihan Presiden 2020,Trump telah didakwa dalam dua kasus lain: dugaan menyimpan dokumen rahasia pemerintah dan pemalsuan catatan bisnis untuk menutupi pembayaran uang suap kepada bintang porno.  Trump sekarang menghadapi lima persidangan yang akan datang – tiga di New York, atas pembayaran uang tutup mulut, dan persidangan perdata atas praktik bisnis dan dugaan pencemaran nama baik seorang wanita yang menuduhnya melakukan pemerkosaan. Sidang lainnya akan berlangsung di Florida terkait dugaan kesalahan penanganan dokumen rahasia.

Dengan begitu banyak kasus yang menimpa dirinya, Trump melakukan kampanye agresif terhadap pendukungnya dengan menyerang salah satu instrument penegakkan hukum di Amerika Serikat yakni Kejaksaan baik Federal maupun di tingkat lokal, yang dituduhnya menjadi alat dari pemerintah untuk menggagalkan pencalonan dirinya kembali menjadi Presiden. Strategi Playing Victim ini ternyata efektif, dikalangan pemilih partai Republik.

Pada survey terakhir dari New York Times/ Sienna Golleges menunjukkan pemilih partai Republik hanya 17% yang percaya Trump melakukan tindakan kriminal, sedangkan 71% beranggapan Trump tidak bersalah.  Selain itu pemerintahan AmeriKa Serikat di bawah Pimpinan Presiden Joe Biden belum menunjukkan kinerja yang baik terutama di bidang ekonomi. Menurut survei CNN terkahir menggambarkan bahwa 51% penduduk AS beranggapan kondisi ekonomi menurun dan bisa lebih buruk lagi kondisinya. Sehingga tidak mengherankan jika tingkat dukungan atas kinerja secara keseluruhan Presiden Biden masih rendah di angka 41 persen, sedangkan yang tidak mendukung kinerjanya lebih besar yakni 59%.

Hal ini membuat masyarakat AS menjadi terbelah dua antara pendukung Trump dan pendukung Presiden Biden, dengan dikorbankannya legitimasi dari sistem penegakkan hukum di AS. Tentunya peristiwa efek Pemilihan presiden 2020 hingga sekarang di mana polarisasi di antara masyarakat AS sangat kental, dikombinasikan dengan upaya delegitimasi penegakkan hukum  harus dihindari di Indonesia.

Terlebih temperatur politik di Indonesia sudah mulai panas. Tiga Kandidat Calon Presiden yakni Mantan Gubernur DKI Anies Baswedan, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dia atas kertas telah memenuhi syarat jumlah dukungan minimal partai politik. Namun karena negosiasi yang sangat berlarut-larut terkait pembagian kekuasaan, serta talik ulur kepentingan dari para elit partai politik membuat para Capres kesulitan untuk menentukan pasangan calon Wakil Presiden hingga saat ini.

Mengacu pada peristiwa polarisasi di masyarakat AS karena efek pemilu tersebut, pemerintahan Presiden Joko Widodo mempunyai tugas yang tidak ringan untuk mensukseskan pemilihan umum di tahun 2024 agar berjalan jujur dan adil. Masalah pembelian suara atau money politics perlu diminimalkan dampaknya, agar warga benar-benar memilih kandidat Caleg atau capres berdasarkan kompetensi, visi dan program dari sang kandidat.

Pengawasan dalam penyelenggaraan pemilu perlu ditingkatkan, guna mengurangi intimidasi dan kekerasan terhadap pemilih, serta menghilangkan potensi pemalsuan suara. Dengan demikian pemberdayaan dan pembiayaan Lembaga pengawas pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) perlu ditingkatkan.

Di era digitalisasi dan penggunaan Artifical Intellegence, pemerintah terutama melalui Kementerian Komunikasi dan Informatik (Kominfo) seyogyanya mencegah penyebaran propaganda dan informasi palsu, melalui mekanisme pengawasan dan pengecekan data yang ketat.

Tentunya masalah biaya politik tinggi hingga saat ini selalu menjadi kendala bagi para calon pimpinan nasional serta tingkat daerah, perlu di buat mekanisme efektif untuk transparansi dan pengawasan sumber dana kampanye, untuk memastikan prinsip kesetaraan dalam kompetisi pemilu. Dengan berbagai upaya pencegahan yang telah disebutkan tadi Insya Allah pemilu pada 2024 mendatang dapat berjalan jujur dan adil. Dimana akan terpilih pemimpin nasional dan daerah yang kredibel, mempunyai legitimasi kuat, kompeten dan berintegritas. (S-4)

Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/609888/dakwaan-terhadap-trump-dan-pelajaran-untuk-pemilu-indonesia-2024

Related Posts